YEHUWA
[bentuk kausatif imperfek dari kata kerja Ibr., ha·wah′ (menjadi); artinya ”Ia Menyebabkan Menjadi”].
Nama pribadi Allah. (Yes 42:8; 54:5) Meskipun dalam Alkitab Allah disebut dengan berbagai gelar deskriptif, misalnya ”Allah”, ”Tuan Yang Berdaulat”, ”Pencipta”, ”Bapak”, ”Yang Mahakuasa”, dan ”Yang Mahatinggi”, kepribadian serta sifat-sifat-Nya—siapa dan apa sebenarnya Dia—sepenuhnya terangkum dan dinyatakan dalam nama pribadi ini saja.—Mz 83:18.
Pelafalan yang Benar untuk Nama Ilahi. ”Yehuwa” adalah pelafalan nama ilahi yang paling banyak dikenal dalam bahasa Indonesia, meskipun ”Yahweh” lebih disukai oleh kebanyakan pakar bahasa Ibrani. Dalam manuskrip-manuskrip Ibrani tertua, nama itu ditulis dengan empat konsonan, yang umumnya disebut Tetragramaton (dari kata Yunani te·tra-, artinya ”empat”, dan gram′ma, ”huruf”). Keempat huruf itu (ditulis dari kanan ke kiri) adalah יהוה dan transliterasinya dalam bahasa Indonesia adalah YHWH.
Jadi, kita mengetahui huruf-huruf konsonan Ibrani nama itu. Namun pertanyaannya: Huruf-huruf vokal apa yang harus dipadukan dengan huruf-huruf konsonan itu? Penanda bunyi vokal baru digunakan dalam bahasa Ibrani pada paruh kedua milenium pertama M. (Lihat IBRANI, BAHASA [Abjad dan Tulisan Ibrani].) Lagi pula, oleh karena adanya takhayul keagamaan yang muncul beberapa abad sebelumnya, penanda bunyi vokal yang terdapat dalam manuskrip-manuskrip Ibrani tidak dapat dijadikan petunjuk untuk menentukan huruf-huruf vokal apa yang seharusnya tertera dalam nama ilahi.
Takhayul menyembunyikan nama itu. Pada suatu ketika di kalangan orang Yahudi muncul suatu gagasan yang dipengaruhi oleh takhayul bahwa adalah salah untuk mengucapkan nama ilahi (yang ditulis dengan Tetragramaton). Apa persisnya dasar yang mula-mula diberikan untuk menghentikan penggunaan nama itu tidak diketahui secara pasti. Ada yang berpendapat bahwa nama itu dianggap terlalu suci untuk disebutkan oleh bibir yang tidak sempurna. Namun, Kitab-Kitab Ibrani sendiri tidak memberikan bukti adanya hamba sejati Allah yang merasa ragu-ragu untuk mengucapkan nama-Nya. Dokumen-dokumen Ibrani di luar Alkitab, misalnya yang disebut Surat-Surat Lakhis, memperlihatkan bahwa nama itu digunakan dalam surat-menyurat biasa di Palestina pada akhir abad ketujuh SM.
Yang lain berpendapat bahwa nama itu tidak boleh diucapkan agar orang-orang non-Yahudi tidak mengetahuinya dan mungkin menyalahgunakannya. Akan tetapi, Yehuwa sendiri berfirman bahwa Ia akan ’membuat nama-Nya dinyatakan di seluruh bumi’ (Kel 9:16; bdk. 1Taw 16:23, 24; Mz 113:3; Mal 1:11, 14), agar dikenal bahkan oleh lawan-lawan-Nya. (Yes 64:2) Nama itu malah diketahui dan digunakan oleh bangsa-bangsa kafir pada masa pra-Tarikh Masehi maupun pada abad-abad awal Tarikh Masehi. (The Jewish Encyclopedia, 1976, Jil. XII, hlm. 119) Yang lain lagi menyatakan bahwa tujuannya adalah untuk melindungi nama itu agar tidak digunakan dalam upacara yang bersifat gaib. Jika demikian, hal itu merupakan penalaran yang dangkal, sebab jelas sekali bahwa semakin misterius nama itu karena tidak digunakan, semakin cocok nama itu bagi orang-orang yang mempraktekkan ilmu gaib.
Kapan takhayul itu mulai berakar? Sama seperti tidak pastinya berbagai alasan yang mula-mula diajukan untuk tidak lagi menggunakan nama ilahi, demikian pula terdapat banyak ketidakpastian mengenai kapan pandangan yang dipengaruhi takhayul itu mulai benar-benar berakar. Ada yang menyatakan bahwa takhayul itu muncul setelah pembuangan di Babilon (607-537 SM). Akan tetapi, teori itu didasarkan atas sangkaan bahwa para penulis Kitab-Kitab Ibrani yang belakangan kurang menggunakan nama ilahi, suatu pandangan yang tidak akan bertahan jika diuji. Contohnya, Maleakhi tampaknya adalah salah satu buku dalam Kitab-Kitab Ibrani yang terakhir ditulis (pada paruh kedua abad kelima SM), dan buku itu sangat menonjolkan nama ilahi.
Menurut perkiraan banyak karya referensi, nama itu tidak lagi digunakan sekitar tahun 300 SM. Yang konon menjadi petunjuk untuk tahun itu adalah tidak adanya Tetragramaton (atau transliterasinya) dalam Kitab-Kitab Ibrani terjemahan Septuaginta Yunani, yang mulai dibuat sekitar tahun 280 SM. Memang, di dalam manuskrip-manuskrip terlengkap Septuaginta yang dikenal dewasa ini, Tetragramaton secara konsisten telah diganti dengan kata Yunani Ky′ri·os (Tuan) atau The·os′ (Allah), mengikuti kebiasaan yang sudah terbentuk. Tetapi manuskrip-manuskrip yang lebih lengkap itu berasal dari abad keempat dan kelima M. Salinan-salinan yang lebih kuno, meskipun tidak lengkap, telah ditemukan dan terbukti bahwa salinan-salinan Septuaginta yang paling awal memang memuat nama ilahi.
Salah satunya ialah fragmen-fragmen gulungan papirus yang memuat sebagian buku Ulangan, yang terdaftar sebagai Inventaris P. Fouad No. 266. (GAMBAR, Jil. 1, hlm. 326) Papirus itu memuat Tetragramaton, yang ditulis dengan huruf-huruf Ibrani persegi, di semua ayat yang berisi keempat huruf itu dalam teks Ibrani yang diterjemahkan. Menurut para pakar, papirus itu berasal dari abad pertama SM, yang berarti ditulis empat atau lima abad lebih awal daripada manuskrip-manuskrip yang disebutkan sebelumnya.—Lihat Rbi8, Apendiks 1C.
Kapan orang Yahudi secara umum tidak lagi mengucapkan nama pribadi Allah?
Jadi, setidaknya dalam bentuk tertulis, tidak ada bukti kuat bahwa nama ilahi hilang atau tidak digunakan selama masa SM. Pada abad pertama M, muncul untuk pertama kalinya suatu bukti adanya sikap yang dipengaruhi takhayul terhadap nama itu. Yosefus, seorang sejarawan Yahudi dari keluarga imam, sewaktu menceritakan kembali bagaimana Allah menyingkapkan diri-Nya kepada Musa di semak yang bernyala, mengatakan, ”Lalu Allah menyingkapkan kepadanya nama-Nya, yang sebelumnya tidak pernah didengar oleh telinga manusia, dan yang tidak boleh saya ucapkan.” (Jewish Antiquities, II, 276 [xii, 4]) Akan tetapi, selain tidak akurat sehubungan dengan diketahuinya nama ilahi sebelum Musa, pernyataan Yosefus itu samar-samar dan tidak jelas menyingkapkan bagaimana persisnya sikap umum berkenaan dengan pengucapan atau penggunaan nama ilahi pada abad pertama.
Misnah Yahudi, yakni kumpulan ajaran dan tradisi para rabi, agak lebih eksplisit. Misnah konon disusun oleh seorang rabi yang dikenal sebagai Yehuda, sang Pembesar, yang hidup pada abad kedua dan ketiga M. Beberapa bagian Misnah dengan jelas menceritakan keadaan sebelum pembinasaan Yerusalem dan baitnya pada tahun 70 M. Akan tetapi, seorang pakar mengatakan mengenai Misnah, ”Luar biasa sulit untuk menentukan nilai sejarah apa yang harus dikaitkan dengan tradisi yang dicatat dalam Misnah. Tenggang waktu yang bisa jadi telah mengaburkan atau menyimpangkan ingatan tentang masa-masa yang begitu berbeda; pergolakan, perubahan, dan kekacauan politik akibat dua pemberontakan serta dua penaklukan oleh orang Romawi; standar-standar yang dijunjung golongan Farisi (yang pandangan-pandangannya dicatat dalam Misnah) yang berbeda dengan yang dianut golongan Saduki . . .—inilah faktor-faktor yang benar-benar perlu dipertimbangkan sewaktu menilai sifat pernyataan-pernyataan dalam Misnah. Selain itu, banyak dari isi Misnah semata-mata adalah bahan perdebatan akademis, dengan (demikianlah tampaknya) sedikit pretensi bahwa yang dicatat adalah kebiasaan dalam sejarah.” (The Mishnah, diterjemahkan oleh H. Danby, London, 1954, hlm. xiv, xv) Beberapa tradisi dalam Misnah sehubungan dengan pengucapan nama ilahi adalah sebagai berikut:
Mengenai Hari Pendamaian tahunan, Misnah terjemahan Danby menyatakan, ”Dan pada waktu para imam dan umat yang berdiri di Halaman Bait mendengar Nama itu keluar dari mulut sang Imam Besar, mereka biasanya berlutut dan sujud dengan muka sampai ke tanah serta berkata, ’Diagungkanlah nama kemuliaan kerajaan-Nya sampai selama-lamanya!’” (Yoma 6:2) Tentang puji-pujian yang diucapkan para imam setiap hari, Sotah 7:6 mengatakan, ”Di Bait mereka mengucapkan Nama itu sebagaimana ada tertulis, tetapi di provinsi-provinsi mereka menggunakan kata pengganti.” Sanhedrin 7:5 menyatakan bahwa seorang penghujah tidak dianggap bersalah ’kecuali ia mengucapkan Nama itu’, dan bahwa dalam pengadilan untuk kasus tuduhan hujah, sebuah nama pengganti digunakan hingga semua bukti diperiksa; kemudian saksi utama secara pribadi diminta untuk ’mengatakan secara terbuka apa yang telah ia dengar’, mungkin menggunakan nama ilahi. Sanhedrin 10:1, ketika menyebutkan tentang orang-orang ”yang tidak mendapat bagian dalam dunia mendatang”, menyatakan, ”Abba Saul mengatakan: Juga ia yang mengucapkan Nama itu dengan huruf-hurufnya yang benar.” Namun, selain pandangan-pandangan negatif tersebut, di bagian pertama Misnah ada juga perintah positif bahwa ”seorang pria harus menyapa sesamanya dengan [menggunakan] Nama [Allah]”, lalu contoh Boaz (Rut 2:4) dikutip.—Berakhot 9:5.
Jika dilihat sebagaimana adanya, pandangan turun-temurun ini bisa jadi menyingkapkan adanya kecenderungan yang dipengaruhi takhayul untuk menghindari penggunaan nama ilahi beberapa waktu sebelum bait di Yerusalem dihancurkan pada tahun 70 M. Itu pun, terutama para imamlah yang secara eksplisit disebutkan telah menggunakan nama lain sebagai pengganti nama ilahi, dan hal itu hanya dilakukan di provinsi-provinsi. Selanjutnya, sebagaimana telah kita lihat, nilai sejarah dari tradisi dalam Misnah patut dipertanyakan.
Oleh karena itu, tidak ada dasar aktual untuk menyatakan bahwa pandangan yang dipengaruhi takhayul itu, yang menuntut agar nama ilahi tidak digunakan lagi, mulai berkembang sebelum abad pertama dan kedua M. Akan tetapi, akhirnya memang sewaktu membaca Kitab-Kitab Ibrani dalam bahasa asli, seorang Yahudi akan menggunakan ’Adho·nai′ (Tuan Yang Berdaulat) atau ’Elo·him′ (Allah) dan tidak mengucapkan nama ilahi yang ditulis dengan Tetragramaton. Hal ini terlihat dari fakta bahwa pada waktu penanda bunyi vokal mulai digunakan pada paruh kedua milenium pertama M, para penyalin Yahudi menyisipkan ke dalam Tetragramaton penanda bunyi vokal untuk ’Adho·nai′ ataupun ’Elo·him′, agaknya untuk memperingatkan pembaca agar menyebutkan kata-kata itu sebagai ganti nama ilahi. Jika pembaca menggunakan salinan Kitab-Kitab Ibrani terjemahan Septuaginta Yunani yang dibuat belakangan, ia tentunya mendapati bahwa semua Tetragramaton telah diganti dengan Ky′ri·os dan The·os′.
Terjemahan-terjemahan ke dalam bahasa lain, misalnya Vulgata Latin, mengikuti contoh salinan-salinan Septuaginta Yunani yang dibuat belakangan tersebut. Alkitab bahasa Indonesia Terjemahan Baru tidak memuat nama ilahi namun menggunakan TUHAN atau ALLAH (dengan huruf kapital besar dan kecil) untuk Tetragramaton dalam Kitab-Kitab Ibrani; Terjemahan Lama menggunakan ”Yehuwa” satu kali dan bentuk singkatan ”Hua” dalam beberapa ayat.
Bagaimana pelafalan yang benar untuk nama Allah?
Pada paruh kedua milenium pertama M, para pakar Yahudi memperkenalkan suatu sistem penandaan untuk huruf-huruf vokal yang tidak ada dalam teks konsonantal Ibrani. Sehubungan dengan nama Allah, mereka tidak menyisipkan penanda bunyi vokal yang benar untuk nama itu, tetapi malah menaruh penanda bunyi vokal yang lain untuk mengingatkan pembaca agar menyebutkan ’Adho·nai′ (artinya ”Tuan Yang Berdaulat”) atau ’Elo·him′ (artinya ”Allah”).
Kodeks Leningrad B 19A, dari abad ke-11 M membubuhkan penanda bunyi vokal pada Tetragramaton agar dibaca Yehwah′, Yehwih′, dan Yeho·wah′. Teks Masoret versi Ginsburg membubuhkan penanda bunyi vokal pada nama ilahi agar berbunyi Yeho·wah′. (Kej 3:14, Rbi8, ctk.) Para pakar bahasa Ibrani biasanya lebih memilih ”Yahweh” sebagai pelafalan yang paling mendekati aslinya. Mereka menunjukkan bahwa kependekan nama itu adalah Yah, misalnya di Mazmur 89:8 dan dalam ungkapan Ha·lelu-Yah′ (artinya ”Pujilah Yah, hai, kamu sekalian!”). (Mz 104:35; 150:1, 6) Selain itu, bentuk-bentuk seperti Yehoh′, Yoh, Yah, dan Ya′hu, yang terdapat dalam ejaan Ibrani untuk nama-nama Yehosyafat, Yosyafat, Syefatia, serta nama-nama lain, semuanya dapat berasal dari Yahweh. Transliterasi Yunani untuk nama itu oleh para penulis Kristen masa awal mengarah kepada hal serupa; mereka menggunakan ejaan seperti I·a·be′ dan I·a·ou·e′, yang, apabila dilafalkan dalam bahasa Yunani, mirip dengan Yahweh. Namun, sama sekali tidak ada kesepakatan tentang masalah ini di kalangan para pakar, ada yang lebih menyukai pelafalan lain lagi, misalnya ”Yahuwa”, ”Yahuah”, atau ”Yehuah”.
Karena kini kita tidak dapat memastikan pelafalan nama itu, tampaknya tidak ada alasan untuk meninggalkan bentuk yang sudah terkenal dalam bahasa Indonesia, yaitu ”Yehuwa”, dan menggantinya dengan pelafalan lain yang diusulkan. Jika perubahan demikian dilakukan, agar konsisten, perubahan juga harus dilakukan terhadap ejaan dan pelafalan banyak sekali nama lain dalam Alkitab: Yeremia harus diubah menjadi Yir·meyah′, Yesaya menjadi Yesya‛·ya′hu, dan Yesus entah menjadi Yehoh·syu′a‛ (seperti dalam bhs. Ibrani) atau I·e·sous′ (seperti dalam bhs. Yunani). Kata-kata bertujuan untuk menyampaikan gagasan; dalam bahasa Indonesia nama Yehuwa mengidentifikasi Allah yang benar, menyampaikan gagasan tersebut dengan lebih tandas dewasa ini dibandingkan dengan variasi lain yang diusulkan.
Pentingnya Nama Itu. Banyak pakar dan penerjemah Alkitab zaman modern mendukung kebiasaan turun-temurun untuk menyingkirkan nama Allah yang khas. Mereka tidak saja menyatakan bahwa haluan itu dapat dibenarkan karena pelafalannya yang tepat tidak dapat dipastikan, tetapi juga berpendapat bahwa keunggulan dan keunikan Allah yang benar membuat-Nya tidak perlu memiliki nama khusus. Pandangan demikian tidak mendapat dukungan dari Tulisan-Tulisan Kudus yang terilham, baik yang berasal dari zaman pra-Kristen ataupun dari Kitab-Kitab Yunani Kristen.
Tetragramaton muncul 6.828 kali dalam teks Ibrani yang tercetak dalam Biblia Hebraica dan Biblia Hebraica Stuttgartensia. Kitab-Kitab Ibrani Terjemahan Dunia Baru memuat nama ilahi sebanyak 6.973 kali, karena para penerjemah mempertimbangkan, antara lain, fakta bahwa di beberapa tempat para penulis telah mengganti nama ilahi dengan ’Adho·nai′ atau ’Elo·him′. (Lihat Rbi8, Apendiks 1A, 1B) Seringnya nama itu muncul membuktikan bahwa sang Pengarang Alkitab menganggap penting nama yang Ia sandang. Jumlahnya di seluruh Alkitab jauh melebihi jumlah gelar-gelar-Nya yang lain, seperti ”Tuan Yang Berdaulat” atau ”Allah”.
Patut diperhatikan juga bahwa dalam Kitab-Kitab Ibrani dan di antara bangsa-bangsa Semitik, nama dianggap sangat penting. Profesor G. T. Manley menyatakan, ”Penelitian atas kata ’nama’ dalam P[erjanjian] L[ama] menyingkapkan betapa pentingnya nama dalam bahasa Ibrani. Nama bukan sekadar sebutan, melainkan menyatakan kepribadian yang sebenarnya dari si pemilik nama itu. . . . Apabila seseorang menaruh ’namanya’ pada suatu benda atau orang lain, yang disebutkan belakangan itu pun akan berada di bawah pengaruh serta perlindungannya.”—New Bible Dictionary, diedit oleh J. D. Douglas, 1985, hlm. 430; bdk. Everyman’s Talmud, karya A. Cohen, 1949, hlm. 24; Kej 27:36; 1Sam 25:25; Mz 20:1; Ams 22:1; lihat NAMA.
”Allah” dan ”Bapak” hanya sebutan umum. Gelar ”Allah” tidak bersifat pribadi atau hanyalah sebutan umum (orang dapat menjadikan perutnya allah; Flp 3:19). Dalam Kitab-Kitab Ibrani, kata yang sama (’Elo·him′) digunakan untuk Yehuwa, Allah yang benar, dan juga untuk allah-allah palsu, seperti allah orang Filistin, Dagon (Hak 16:23, 24; 1Sam 5:7), dan allah orang Asiria, Nisrokh. (2Raj 19:37) Jika seorang Ibrani memberi tahu seorang Filistin atau seorang Asiria bahwa ia menyembah ”Allah [’Elo·him′]”, kata itu jelas tidak cukup untuk mengidentifikasi Pribadi yang ia sembah.
Dalam artikel-artikelnya tentang Yehuwa, The Imperial Bible-Dictionary dengan jelas mengilustrasikan perbedaan antara ’Elo·him′ (Allah) dan Yehuwa. Mengenai nama Yehuwa, kamus itu mengatakan, ”[Yehuwa] di mana-mana adalah nama diri, menyatakan Allah sebagai pribadi dan Dia saja; sedangkan Elohim lebih dapat dikatakan sebagai nama jenis, yang biasanya, memang memaksudkan Pribadi Tertinggi, tetapi tidak selalu atau tidak secara konsisten. . . . Orang Ibrani mungkin mengatakan sang Elohim, Allah yang benar, untuk mempertentangkannya dengan semua allah palsu; tetapi ia tidak akan pernah mengatakan sang Yehuwa, sebab Yehuwa adalah nama dari Allah yang benar saja. Ia berkali-kali mengatakan Allahku . . . ; tetapi tidak pernah Yehuwaku, sebab pada waktu ia mengatakan Allahku, yang ia maksud adalah Yehuwa. Ia berbicara tentang Allah Israel, tetapi tidak pernah tentang Yehuwa Israel, sebab tidak ada Yehuwa yang lain. Ia berbicara tentang Allah yang hidup, tetapi tidak pernah tentang Yehuwa yang hidup, karena ia tidak mungkin membayangkan Yehuwa sebagai pribadi yang tidak hidup.”—Diedit oleh P. Fairbairn, London, 1874, Jil. I, hlm. 856.
Sama halnya dengan kata Yunani untuk Allah, The·os′. Kata itu dengan cara yang sama digunakan untuk Allah yang benar maupun untuk allah-allah kafir, seperti Zeus dan Hermes (bagi orang Romawi: Yupiter dan Merkurius). (Bdk. Kis 14:11-15.) Kata-kata Paulus di 1 Korintus 8:4-6 menggambarkan situasi yang sebenarnya, ”Karena meskipun ada yang disebut ’allah-allah’, baik itu di surga maupun di bumi, sebagaimana ada banyak ’allah’ dan banyak ’tuan’, sesungguhnya bagi kita hanya ada satu Allah, sang Bapak, yang darinya segala sesuatu ada, dan kita, untuk dia.” Kepercayaan kepada banyak allah terus ada bahkan sampai abad ke-21 ini, sehingga Allah yang benar perlu sekali dibedakan dari allah-allah tersebut.
Pernyataan Paulus tentang ”Allah, sang Bapak” tidak berarti bahwa nama Allah yang benar adalah ”Bapak”, sebab sebutan ”bapak” berlaku untuk semua orang tua jasmani dan juga untuk hubungan lain. (Rm 4:11, 16; 1Kor 4:15) Sang Mesias diberi gelar ”Bapak yang Kekal”. (Yes 9:6) Yesus menyebut Setan ’bapak’ para penentang yang suka membunuh. (Yoh 8:44) Kata itu juga digunakan untuk allah-allah berbagai bangsa. Zeus, dewa orang Yunani, digambarkan sebagai allah bapak yang agung dalam puisi-puisi karya Homerus. Fakta bahwa ”Allah, sang Bapak” mempunyai nama, yang berbeda dari nama Putra-Nya, diperlihatkan dalam banyak ayat. (Mat 28:19; Pny 3:12; 14:1) Paulus mengetahui nama pribadi Allah, Yehuwa, sebagaimana terdapat dalam kisah penciptaan di buku Kejadian, yang dikutip Paulus dalam tulisan-tulisannya. Nama itu, Yehuwa, memperbedakan ”Allah, sang Bapak” (bdk. Yes 64:8), sehingga menghalangi upaya apa pun untuk mencampuradukkan atau menggabungkan identitas serta pribadi Allah dengan identitas serta pribadi lain mana pun yang mungkin diberi gelar ”allah” atau ”bapak”.
Pelafalan yang Benar untuk Nama Ilahi. ”Yehuwa” adalah pelafalan nama ilahi yang paling banyak dikenal dalam bahasa Indonesia, meskipun ”Yahweh” lebih disukai oleh kebanyakan pakar bahasa Ibrani. Dalam manuskrip-manuskrip Ibrani tertua, nama itu ditulis dengan empat konsonan, yang umumnya disebut Tetragramaton (dari kata Yunani te·tra-, artinya ”empat”, dan gram′ma, ”huruf”). Keempat huruf itu (ditulis dari kanan ke kiri) adalah יהוה dan transliterasinya dalam bahasa Indonesia adalah YHWH.
Jadi, kita mengetahui huruf-huruf konsonan Ibrani nama itu. Namun pertanyaannya: Huruf-huruf vokal apa yang harus dipadukan dengan huruf-huruf konsonan itu? Penanda bunyi vokal baru digunakan dalam bahasa Ibrani pada paruh kedua milenium pertama M. (Lihat IBRANI, BAHASA [Abjad dan Tulisan Ibrani].) Lagi pula, oleh karena adanya takhayul keagamaan yang muncul beberapa abad sebelumnya, penanda bunyi vokal yang terdapat dalam manuskrip-manuskrip Ibrani tidak dapat dijadikan petunjuk untuk menentukan huruf-huruf vokal apa yang seharusnya tertera dalam nama ilahi.
Takhayul menyembunyikan nama itu. Pada suatu ketika di kalangan orang Yahudi muncul suatu gagasan yang dipengaruhi oleh takhayul bahwa adalah salah untuk mengucapkan nama ilahi (yang ditulis dengan Tetragramaton). Apa persisnya dasar yang mula-mula diberikan untuk menghentikan penggunaan nama itu tidak diketahui secara pasti. Ada yang berpendapat bahwa nama itu dianggap terlalu suci untuk disebutkan oleh bibir yang tidak sempurna. Namun, Kitab-Kitab Ibrani sendiri tidak memberikan bukti adanya hamba sejati Allah yang merasa ragu-ragu untuk mengucapkan nama-Nya. Dokumen-dokumen Ibrani di luar Alkitab, misalnya yang disebut Surat-Surat Lakhis, memperlihatkan bahwa nama itu digunakan dalam surat-menyurat biasa di Palestina pada akhir abad ketujuh SM.
Yang lain berpendapat bahwa nama itu tidak boleh diucapkan agar orang-orang non-Yahudi tidak mengetahuinya dan mungkin menyalahgunakannya. Akan tetapi, Yehuwa sendiri berfirman bahwa Ia akan ’membuat nama-Nya dinyatakan di seluruh bumi’ (Kel 9:16; bdk. 1Taw 16:23, 24; Mz 113:3; Mal 1:11, 14), agar dikenal bahkan oleh lawan-lawan-Nya. (Yes 64:2) Nama itu malah diketahui dan digunakan oleh bangsa-bangsa kafir pada masa pra-Tarikh Masehi maupun pada abad-abad awal Tarikh Masehi. (The Jewish Encyclopedia, 1976, Jil. XII, hlm. 119) Yang lain lagi menyatakan bahwa tujuannya adalah untuk melindungi nama itu agar tidak digunakan dalam upacara yang bersifat gaib. Jika demikian, hal itu merupakan penalaran yang dangkal, sebab jelas sekali bahwa semakin misterius nama itu karena tidak digunakan, semakin cocok nama itu bagi orang-orang yang mempraktekkan ilmu gaib.
Kapan takhayul itu mulai berakar? Sama seperti tidak pastinya berbagai alasan yang mula-mula diajukan untuk tidak lagi menggunakan nama ilahi, demikian pula terdapat banyak ketidakpastian mengenai kapan pandangan yang dipengaruhi takhayul itu mulai benar-benar berakar. Ada yang menyatakan bahwa takhayul itu muncul setelah pembuangan di Babilon (607-537 SM). Akan tetapi, teori itu didasarkan atas sangkaan bahwa para penulis Kitab-Kitab Ibrani yang belakangan kurang menggunakan nama ilahi, suatu pandangan yang tidak akan bertahan jika diuji. Contohnya, Maleakhi tampaknya adalah salah satu buku dalam Kitab-Kitab Ibrani yang terakhir ditulis (pada paruh kedua abad kelima SM), dan buku itu sangat menonjolkan nama ilahi.
Menurut perkiraan banyak karya referensi, nama itu tidak lagi digunakan sekitar tahun 300 SM. Yang konon menjadi petunjuk untuk tahun itu adalah tidak adanya Tetragramaton (atau transliterasinya) dalam Kitab-Kitab Ibrani terjemahan Septuaginta Yunani, yang mulai dibuat sekitar tahun 280 SM. Memang, di dalam manuskrip-manuskrip terlengkap Septuaginta yang dikenal dewasa ini, Tetragramaton secara konsisten telah diganti dengan kata Yunani Ky′ri·os (Tuan) atau The·os′ (Allah), mengikuti kebiasaan yang sudah terbentuk. Tetapi manuskrip-manuskrip yang lebih lengkap itu berasal dari abad keempat dan kelima M. Salinan-salinan yang lebih kuno, meskipun tidak lengkap, telah ditemukan dan terbukti bahwa salinan-salinan Septuaginta yang paling awal memang memuat nama ilahi.
Salah satunya ialah fragmen-fragmen gulungan papirus yang memuat sebagian buku Ulangan, yang terdaftar sebagai Inventaris P. Fouad No. 266. (GAMBAR, Jil. 1, hlm. 326) Papirus itu memuat Tetragramaton, yang ditulis dengan huruf-huruf Ibrani persegi, di semua ayat yang berisi keempat huruf itu dalam teks Ibrani yang diterjemahkan. Menurut para pakar, papirus itu berasal dari abad pertama SM, yang berarti ditulis empat atau lima abad lebih awal daripada manuskrip-manuskrip yang disebutkan sebelumnya.—Lihat Rbi8, Apendiks 1C.
Kapan orang Yahudi secara umum tidak lagi mengucapkan nama pribadi Allah?
Jadi, setidaknya dalam bentuk tertulis, tidak ada bukti kuat bahwa nama ilahi hilang atau tidak digunakan selama masa SM. Pada abad pertama M, muncul untuk pertama kalinya suatu bukti adanya sikap yang dipengaruhi takhayul terhadap nama itu. Yosefus, seorang sejarawan Yahudi dari keluarga imam, sewaktu menceritakan kembali bagaimana Allah menyingkapkan diri-Nya kepada Musa di semak yang bernyala, mengatakan, ”Lalu Allah menyingkapkan kepadanya nama-Nya, yang sebelumnya tidak pernah didengar oleh telinga manusia, dan yang tidak boleh saya ucapkan.” (Jewish Antiquities, II, 276 [xii, 4]) Akan tetapi, selain tidak akurat sehubungan dengan diketahuinya nama ilahi sebelum Musa, pernyataan Yosefus itu samar-samar dan tidak jelas menyingkapkan bagaimana persisnya sikap umum berkenaan dengan pengucapan atau penggunaan nama ilahi pada abad pertama.
Misnah Yahudi, yakni kumpulan ajaran dan tradisi para rabi, agak lebih eksplisit. Misnah konon disusun oleh seorang rabi yang dikenal sebagai Yehuda, sang Pembesar, yang hidup pada abad kedua dan ketiga M. Beberapa bagian Misnah dengan jelas menceritakan keadaan sebelum pembinasaan Yerusalem dan baitnya pada tahun 70 M. Akan tetapi, seorang pakar mengatakan mengenai Misnah, ”Luar biasa sulit untuk menentukan nilai sejarah apa yang harus dikaitkan dengan tradisi yang dicatat dalam Misnah. Tenggang waktu yang bisa jadi telah mengaburkan atau menyimpangkan ingatan tentang masa-masa yang begitu berbeda; pergolakan, perubahan, dan kekacauan politik akibat dua pemberontakan serta dua penaklukan oleh orang Romawi; standar-standar yang dijunjung golongan Farisi (yang pandangan-pandangannya dicatat dalam Misnah) yang berbeda dengan yang dianut golongan Saduki . . .—inilah faktor-faktor yang benar-benar perlu dipertimbangkan sewaktu menilai sifat pernyataan-pernyataan dalam Misnah. Selain itu, banyak dari isi Misnah semata-mata adalah bahan perdebatan akademis, dengan (demikianlah tampaknya) sedikit pretensi bahwa yang dicatat adalah kebiasaan dalam sejarah.” (The Mishnah, diterjemahkan oleh H. Danby, London, 1954, hlm. xiv, xv) Beberapa tradisi dalam Misnah sehubungan dengan pengucapan nama ilahi adalah sebagai berikut:
Mengenai Hari Pendamaian tahunan, Misnah terjemahan Danby menyatakan, ”Dan pada waktu para imam dan umat yang berdiri di Halaman Bait mendengar Nama itu keluar dari mulut sang Imam Besar, mereka biasanya berlutut dan sujud dengan muka sampai ke tanah serta berkata, ’Diagungkanlah nama kemuliaan kerajaan-Nya sampai selama-lamanya!’” (Yoma 6:2) Tentang puji-pujian yang diucapkan para imam setiap hari, Sotah 7:6 mengatakan, ”Di Bait mereka mengucapkan Nama itu sebagaimana ada tertulis, tetapi di provinsi-provinsi mereka menggunakan kata pengganti.” Sanhedrin 7:5 menyatakan bahwa seorang penghujah tidak dianggap bersalah ’kecuali ia mengucapkan Nama itu’, dan bahwa dalam pengadilan untuk kasus tuduhan hujah, sebuah nama pengganti digunakan hingga semua bukti diperiksa; kemudian saksi utama secara pribadi diminta untuk ’mengatakan secara terbuka apa yang telah ia dengar’, mungkin menggunakan nama ilahi. Sanhedrin 10:1, ketika menyebutkan tentang orang-orang ”yang tidak mendapat bagian dalam dunia mendatang”, menyatakan, ”Abba Saul mengatakan: Juga ia yang mengucapkan Nama itu dengan huruf-hurufnya yang benar.” Namun, selain pandangan-pandangan negatif tersebut, di bagian pertama Misnah ada juga perintah positif bahwa ”seorang pria harus menyapa sesamanya dengan [menggunakan] Nama [Allah]”, lalu contoh Boaz (Rut 2:4) dikutip.—Berakhot 9:5.
Jika dilihat sebagaimana adanya, pandangan turun-temurun ini bisa jadi menyingkapkan adanya kecenderungan yang dipengaruhi takhayul untuk menghindari penggunaan nama ilahi beberapa waktu sebelum bait di Yerusalem dihancurkan pada tahun 70 M. Itu pun, terutama para imamlah yang secara eksplisit disebutkan telah menggunakan nama lain sebagai pengganti nama ilahi, dan hal itu hanya dilakukan di provinsi-provinsi. Selanjutnya, sebagaimana telah kita lihat, nilai sejarah dari tradisi dalam Misnah patut dipertanyakan.
Oleh karena itu, tidak ada dasar aktual untuk menyatakan bahwa pandangan yang dipengaruhi takhayul itu, yang menuntut agar nama ilahi tidak digunakan lagi, mulai berkembang sebelum abad pertama dan kedua M. Akan tetapi, akhirnya memang sewaktu membaca Kitab-Kitab Ibrani dalam bahasa asli, seorang Yahudi akan menggunakan ’Adho·nai′ (Tuan Yang Berdaulat) atau ’Elo·him′ (Allah) dan tidak mengucapkan nama ilahi yang ditulis dengan Tetragramaton. Hal ini terlihat dari fakta bahwa pada waktu penanda bunyi vokal mulai digunakan pada paruh kedua milenium pertama M, para penyalin Yahudi menyisipkan ke dalam Tetragramaton penanda bunyi vokal untuk ’Adho·nai′ ataupun ’Elo·him′, agaknya untuk memperingatkan pembaca agar menyebutkan kata-kata itu sebagai ganti nama ilahi. Jika pembaca menggunakan salinan Kitab-Kitab Ibrani terjemahan Septuaginta Yunani yang dibuat belakangan, ia tentunya mendapati bahwa semua Tetragramaton telah diganti dengan Ky′ri·os dan The·os′.
Terjemahan-terjemahan ke dalam bahasa lain, misalnya Vulgata Latin, mengikuti contoh salinan-salinan Septuaginta Yunani yang dibuat belakangan tersebut. Alkitab bahasa Indonesia Terjemahan Baru tidak memuat nama ilahi namun menggunakan TUHAN atau ALLAH (dengan huruf kapital besar dan kecil) untuk Tetragramaton dalam Kitab-Kitab Ibrani; Terjemahan Lama menggunakan ”Yehuwa” satu kali dan bentuk singkatan ”Hua” dalam beberapa ayat.
Bagaimana pelafalan yang benar untuk nama Allah?
Pada paruh kedua milenium pertama M, para pakar Yahudi memperkenalkan suatu sistem penandaan untuk huruf-huruf vokal yang tidak ada dalam teks konsonantal Ibrani. Sehubungan dengan nama Allah, mereka tidak menyisipkan penanda bunyi vokal yang benar untuk nama itu, tetapi malah menaruh penanda bunyi vokal yang lain untuk mengingatkan pembaca agar menyebutkan ’Adho·nai′ (artinya ”Tuan Yang Berdaulat”) atau ’Elo·him′ (artinya ”Allah”).
Kodeks Leningrad B 19A, dari abad ke-11 M membubuhkan penanda bunyi vokal pada Tetragramaton agar dibaca Yehwah′, Yehwih′, dan Yeho·wah′. Teks Masoret versi Ginsburg membubuhkan penanda bunyi vokal pada nama ilahi agar berbunyi Yeho·wah′. (Kej 3:14, Rbi8, ctk.) Para pakar bahasa Ibrani biasanya lebih memilih ”Yahweh” sebagai pelafalan yang paling mendekati aslinya. Mereka menunjukkan bahwa kependekan nama itu adalah Yah, misalnya di Mazmur 89:8 dan dalam ungkapan Ha·lelu-Yah′ (artinya ”Pujilah Yah, hai, kamu sekalian!”). (Mz 104:35; 150:1, 6) Selain itu, bentuk-bentuk seperti Yehoh′, Yoh, Yah, dan Ya′hu, yang terdapat dalam ejaan Ibrani untuk nama-nama Yehosyafat, Yosyafat, Syefatia, serta nama-nama lain, semuanya dapat berasal dari Yahweh. Transliterasi Yunani untuk nama itu oleh para penulis Kristen masa awal mengarah kepada hal serupa; mereka menggunakan ejaan seperti I·a·be′ dan I·a·ou·e′, yang, apabila dilafalkan dalam bahasa Yunani, mirip dengan Yahweh. Namun, sama sekali tidak ada kesepakatan tentang masalah ini di kalangan para pakar, ada yang lebih menyukai pelafalan lain lagi, misalnya ”Yahuwa”, ”Yahuah”, atau ”Yehuah”.
Karena kini kita tidak dapat memastikan pelafalan nama itu, tampaknya tidak ada alasan untuk meninggalkan bentuk yang sudah terkenal dalam bahasa Indonesia, yaitu ”Yehuwa”, dan menggantinya dengan pelafalan lain yang diusulkan. Jika perubahan demikian dilakukan, agar konsisten, perubahan juga harus dilakukan terhadap ejaan dan pelafalan banyak sekali nama lain dalam Alkitab: Yeremia harus diubah menjadi Yir·meyah′, Yesaya menjadi Yesya‛·ya′hu, dan Yesus entah menjadi Yehoh·syu′a‛ (seperti dalam bhs. Ibrani) atau I·e·sous′ (seperti dalam bhs. Yunani). Kata-kata bertujuan untuk menyampaikan gagasan; dalam bahasa Indonesia nama Yehuwa mengidentifikasi Allah yang benar, menyampaikan gagasan tersebut dengan lebih tandas dewasa ini dibandingkan dengan variasi lain yang diusulkan.
Pentingnya Nama Itu. Banyak pakar dan penerjemah Alkitab zaman modern mendukung kebiasaan turun-temurun untuk menyingkirkan nama Allah yang khas. Mereka tidak saja menyatakan bahwa haluan itu dapat dibenarkan karena pelafalannya yang tepat tidak dapat dipastikan, tetapi juga berpendapat bahwa keunggulan dan keunikan Allah yang benar membuat-Nya tidak perlu memiliki nama khusus. Pandangan demikian tidak mendapat dukungan dari Tulisan-Tulisan Kudus yang terilham, baik yang berasal dari zaman pra-Kristen ataupun dari Kitab-Kitab Yunani Kristen.
Tetragramaton muncul 6.828 kali dalam teks Ibrani yang tercetak dalam Biblia Hebraica dan Biblia Hebraica Stuttgartensia. Kitab-Kitab Ibrani Terjemahan Dunia Baru memuat nama ilahi sebanyak 6.973 kali, karena para penerjemah mempertimbangkan, antara lain, fakta bahwa di beberapa tempat para penulis telah mengganti nama ilahi dengan ’Adho·nai′ atau ’Elo·him′. (Lihat Rbi8, Apendiks 1A, 1B) Seringnya nama itu muncul membuktikan bahwa sang Pengarang Alkitab menganggap penting nama yang Ia sandang. Jumlahnya di seluruh Alkitab jauh melebihi jumlah gelar-gelar-Nya yang lain, seperti ”Tuan Yang Berdaulat” atau ”Allah”.
Patut diperhatikan juga bahwa dalam Kitab-Kitab Ibrani dan di antara bangsa-bangsa Semitik, nama dianggap sangat penting. Profesor G. T. Manley menyatakan, ”Penelitian atas kata ’nama’ dalam P[erjanjian] L[ama] menyingkapkan betapa pentingnya nama dalam bahasa Ibrani. Nama bukan sekadar sebutan, melainkan menyatakan kepribadian yang sebenarnya dari si pemilik nama itu. . . . Apabila seseorang menaruh ’namanya’ pada suatu benda atau orang lain, yang disebutkan belakangan itu pun akan berada di bawah pengaruh serta perlindungannya.”—New Bible Dictionary, diedit oleh J. D. Douglas, 1985, hlm. 430; bdk. Everyman’s Talmud, karya A. Cohen, 1949, hlm. 24; Kej 27:36; 1Sam 25:25; Mz 20:1; Ams 22:1; lihat NAMA.
”Allah” dan ”Bapak” hanya sebutan umum. Gelar ”Allah” tidak bersifat pribadi atau hanyalah sebutan umum (orang dapat menjadikan perutnya allah; Flp 3:19). Dalam Kitab-Kitab Ibrani, kata yang sama (’Elo·him′) digunakan untuk Yehuwa, Allah yang benar, dan juga untuk allah-allah palsu, seperti allah orang Filistin, Dagon (Hak 16:23, 24; 1Sam 5:7), dan allah orang Asiria, Nisrokh. (2Raj 19:37) Jika seorang Ibrani memberi tahu seorang Filistin atau seorang Asiria bahwa ia menyembah ”Allah [’Elo·him′]”, kata itu jelas tidak cukup untuk mengidentifikasi Pribadi yang ia sembah.
Dalam artikel-artikelnya tentang Yehuwa, The Imperial Bible-Dictionary dengan jelas mengilustrasikan perbedaan antara ’Elo·him′ (Allah) dan Yehuwa. Mengenai nama Yehuwa, kamus itu mengatakan, ”[Yehuwa] di mana-mana adalah nama diri, menyatakan Allah sebagai pribadi dan Dia saja; sedangkan Elohim lebih dapat dikatakan sebagai nama jenis, yang biasanya, memang memaksudkan Pribadi Tertinggi, tetapi tidak selalu atau tidak secara konsisten. . . . Orang Ibrani mungkin mengatakan sang Elohim, Allah yang benar, untuk mempertentangkannya dengan semua allah palsu; tetapi ia tidak akan pernah mengatakan sang Yehuwa, sebab Yehuwa adalah nama dari Allah yang benar saja. Ia berkali-kali mengatakan Allahku . . . ; tetapi tidak pernah Yehuwaku, sebab pada waktu ia mengatakan Allahku, yang ia maksud adalah Yehuwa. Ia berbicara tentang Allah Israel, tetapi tidak pernah tentang Yehuwa Israel, sebab tidak ada Yehuwa yang lain. Ia berbicara tentang Allah yang hidup, tetapi tidak pernah tentang Yehuwa yang hidup, karena ia tidak mungkin membayangkan Yehuwa sebagai pribadi yang tidak hidup.”—Diedit oleh P. Fairbairn, London, 1874, Jil. I, hlm. 856.
Sama halnya dengan kata Yunani untuk Allah, The·os′. Kata itu dengan cara yang sama digunakan untuk Allah yang benar maupun untuk allah-allah kafir, seperti Zeus dan Hermes (bagi orang Romawi: Yupiter dan Merkurius). (Bdk. Kis 14:11-15.) Kata-kata Paulus di 1 Korintus 8:4-6 menggambarkan situasi yang sebenarnya, ”Karena meskipun ada yang disebut ’allah-allah’, baik itu di surga maupun di bumi, sebagaimana ada banyak ’allah’ dan banyak ’tuan’, sesungguhnya bagi kita hanya ada satu Allah, sang Bapak, yang darinya segala sesuatu ada, dan kita, untuk dia.” Kepercayaan kepada banyak allah terus ada bahkan sampai abad ke-21 ini, sehingga Allah yang benar perlu sekali dibedakan dari allah-allah tersebut.
Pernyataan Paulus tentang ”Allah, sang Bapak” tidak berarti bahwa nama Allah yang benar adalah ”Bapak”, sebab sebutan ”bapak” berlaku untuk semua orang tua jasmani dan juga untuk hubungan lain. (Rm 4:11, 16; 1Kor 4:15) Sang Mesias diberi gelar ”Bapak yang Kekal”. (Yes 9:6) Yesus menyebut Setan ’bapak’ para penentang yang suka membunuh. (Yoh 8:44) Kata itu juga digunakan untuk allah-allah berbagai bangsa. Zeus, dewa orang Yunani, digambarkan sebagai allah bapak yang agung dalam puisi-puisi karya Homerus. Fakta bahwa ”Allah, sang Bapak” mempunyai nama, yang berbeda dari nama Putra-Nya, diperlihatkan dalam banyak ayat. (Mat 28:19; Pny 3:12; 14:1) Paulus mengetahui nama pribadi Allah, Yehuwa, sebagaimana terdapat dalam kisah penciptaan di buku Kejadian, yang dikutip Paulus dalam tulisan-tulisannya. Nama itu, Yehuwa, memperbedakan ”Allah, sang Bapak” (bdk. Yes 64:8), sehingga menghalangi upaya apa pun untuk mencampuradukkan atau menggabungkan identitas serta pribadi Allah dengan identitas serta pribadi lain mana pun yang mungkin diberi gelar ”allah” atau ”bapak”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar