Selasa, 11 Desember 2012

Sejenak berhenti ber-internet, bisakah?...

Saatnya Rehat Berinternet, bisakah...?


Jakarta - Kita ini adalah sekumpulan manusia yang menurut Kementerian Komunikasi dan Informatika disebut sebagai generasi netizen. Netizen dalam arti bahwa sejak lahir hingga mati bersentuhan dan memanfaatkan teknologi dan internet.

Betul memang. Dari lahir sampai mati generasi sekarang ini hidup seolah tanpa bisa meninggalkan teknologi dan internet. Sehari-hari kita akan bersentuhan dengan dua hal ini. Dari bangun tidur hingga tidur lagi. Baik ketika sedang makan maupun dalam toilet. 24 jam x 7 hari. Nonstop.

Tapi masih ingatkah Anda tentang hasil penelitian yang dipublikasikan Juni lalu oleh professor Sriram Chellappan dari Missouri University of Science and Technology berkolaborasi dengan software engineer Raghavendra Kotikalapudi tentang hubungan internet dan depresi?

Untuk menyegarkan ingatan, mereka menemukan bahwa orang yang menggunakan/memanfaatkan internet dengan frekuensi tinggi cenderung mengalami depresi dan kegelisahan lebih sering/lebih besar dibanding pengguna internet dengan frekuensi rendah.

Kategori pengguna internet frekuensi tinggi ini meliputi mereka yang sering mengecek email, chatting, bermain game maupun sharing file.

Dan tahukah Anda bahwa baru-baru ini Michigan State University juga mempublikasikan sebuah temuan yang kurang lebih sama? Hasil penelitian yang dikepalai oleh Mark Becker ini menyatakan bahwa penggunaan media seperti bermain game, membuka apps dan SMS-an secara bersamaan juga memiliki hubungan dengan depresi dan kegelisahan.

Untungnya, jika boleh dibilang sebuah keuntungan, mereka belum menemukan kejelasan antara apakah media multitasking yang menyebabkan depresi ataukah orang yang depresi lari dari masalahnya dengan multitasking ini.

Internet memang berlaku layaknya candu. Di satu sisi ia memberikan kesenangan dan kebahagiaan yang begitu manis untuk disesap. Ada dunia yang begitu luas dan kaya untuk dijelajahi.

Pemenuhan kepuasan –- apapun bentuknya -- juga semakin mudah dilakukan berkat internet. Namun, di sisi lain ia memberikan dampak yang tidak terlalu baik, jika tidak boleh dikata buruk.

Saya kira kita setuju bahwa semenjak kehadiran internet yang bisa diakses 24 jam sehari yang tak lepas dari peran gadget ini telah 'merenggut' waktu kita baik berharga maupun tidak. Seringkali kita justru asyik-masyuk dengan smartphone ketika sedang berada satu meja dengan teman atau kekasih.

Istilah nongkrong mengalami semacam pergeseran makna karena hal ini. Jika dulu nongkrong adalah berkumpul di satu tempat untuk membicarakan banyak hal dari penting hingga tak penting -- dan juga melakukan banyak hal. Sekarang nongkrong menjadi duduk di kursi masing-masing dalam satu meja (atau lebih) dan sibuk dengan gadgetnya.

Frekuensi obrolan menjadi berkurang dan jika pun ada, isinya juga seputar dunia internet. Orang bahkan menjadi abai akan sekitarnya. Hal ini juga sampai pada aktivitas di rumah, kantor dan tempat lainnya.

Internet telah membuat banyak orang sibuk dengan 'dunianya sendiri'. Dunia maya ini telah menancapkan sihirnya sedemikian rupa sehingga tampak ada dunia yang lebih asyik untuk dijelajahi daripada dunia yang serba nyata dan bisa disentuh secara fisik ini.

Tidak ada yang salah dengan internet, tentu saja. Bukan salah internet pula ketika hal-hal negatif telah mengubah banyak sifat dan kebiasaan. Namun bisa jadi ini adalah saat yang tepat untuk menentukan dan mengaplikasikan waktu-waktu di mana kita perlu rehat berinternet. Bahasa kerennya, bijak menggunakan waktu berinternet.

Mengapa? Karena ibarat obat, dosis berlebih itu tidak bagus. Menggunakan internet dengan frekuensi tinggi ditambah multitasking media jelas bukan ide bagus. Mungkin juga ini akan menjadikan kita mampu mengatur waktu dengan lebih baik dan bijak.

Saya jadi ingat beberapa cerita tentang mereka yang mengambil time-off dari internet. Salah satunya adalah Adam Brault yang selama bulan November lalu off dari Twitter. Tidak ngetwit maupun melihat timeline Twitter.

Hasilnya? Ada kedamaian ketika pikirannya bisa bebas tanpa gangguan 'ini harus ditwitkan'. Ada kebahagiaan yang hadir akibat absennya notifikasi. Dan ada suka cita ketika pikirannya bisa fokus untuk berpikir.

Mau mencobanya?