Selasa, 11 Mei 2010

Berbicara Dengan Hati, BUkan JAri...

Berbicara dengan Hati, Bukan Jari

"Matikan komputermu. Matikan juga ponselmu.
Dan perhatikan manusia di sekelilingmu."
-- Eric Schmidt, CEO Google

ADIL jengkel betul dengan istrinya.
Sepanjang liburan akhir pekan keduanya
sepakat memilih beristirahat di rumah.
Lima hari bekerja membuat mereka ingin
melemaskan otot-otot.
Sekaligus tentu saja mempererat tali cinta
diantara mereka berdua.
Maklum, mereka belum lagi genap dua tahun menikah.
Buah hati yang menjadi dambaan mereka tak
kunjung datang.
Mungkin Yang Di Atas belum memberikan
mereka kepercayaan.
Begitu keduanya menghibur diri.

Tapi akhir pekan yang seharusnya indah justeru
berubah menyebalkan.
Seharian Anita, sang istri, hanya berada di kamar.
Mungkin saja letih.
Dia ingin istirahat penuh.
Namun yang membuatnya jengkel,
Anita terus menggenggam gadget kesayangannya.
Anita kadang tertawa sendiri.
Sampai kadang dia tak ingin jauh dari colokan listriknya.
Gadget kesayangannya itu sering kehilangan
tenaga, sehingga terpaksa harus dicharge.

Adil geleng-geleng kepala.
Namun Anita cuek bebek.
Katanya, dia sedang asyik mengobrol dengan
teman yang lama tak dijumpainya.
Bertemu di jejaring sosial facebook,
mereka kemudian bertukar nomor PIN.
Lalu itulah yang terjadi, mereka mengobrol
ngalor-ngidul sesuka hati.
Adil pun memilih untuk keluar rumah dan
mengobrol dengan tetangga.

Ponsel cerdas itu menjadi booming di dunia,
termasuk Indonesia.
Apalagi setelah beberapa tokoh dunia dan
seleb memakainya juga.
Kelebihan menggunakan gadget ini
dibandingkan dengan ponsel biasa memang
beragam, misalnya saja layanan push mail,
menerima dan membalas email yang masuk
pada saat itu juga.
Atau mengambil foto dan mengirimkannya ke
handai taulan di luar negeri dalam sekejap.
Lalu ada pula fasilitas chatting, browsing,
hingga fasilitas online berbagai situs jejaring sosial.
Kedekatan seseorang di dunia maya seakan-akan
tidak lagi terpisahkan oleh ruang dan waktu.
Tak aneh bila kemudian muncul istilah,
'mendekatkan yang jauh, menjauhkan yang dekat.'

Namun memakai gadget ini bukan tak
ada kekurangannya sama sekali.
Contohnya, ya itu, interaksi antara Adil dan
Anita menjadi tak nyaman.
Ketika seseorang berasyik masyuk dengan dirinya
dan dunianya sendiri, serta tidak
memperdulikan lingkungan sekitar,
apalagi menjadikannya sebagai ketergantungan
yang sangat, maka menurut anak zaman
sekarang dikatakan terkena 'gejala autis'.
Tapi bukankah merujuk peribahasa, 'man behind
the gun', bahwa baik-buruknya penggunaan
teknologi tergantung si pemakainya?
Betul.
Bila pemakainya memakai dengan bijak,
tentu tak masalah.
Sebaliknya pun demikian.

Tapi nyatanya memang,
menurut penelitian, ketergantungan akan
gadget menyebabkan seseorang menjadi tak fokus.
Bahkan para uskup senior di Liverpool,
Inggris menantang umatnya untuk berpuasa
teknologi selama 40 hari.
Mereka mendorong masing-masing orang
untuk memangkas penggunaan karbon dengan
tidak memakai sejumlah gadget.
Tingkat ketergantungan pemakai gadget
memang sungguh luar biasa.
Hingga muncul istilah, 'it is heaven for
business owners, but hell for employees'.

Gadget dibuat dengan tujuan membantu si pemakainya.
Untuk menjadikan urusan berjalan dengan efektif
dan efisien.
Ambil satu contoh, misalnya saja ketika diadakan
rapat penting.
Saat dalam rapat membutuhkan komunikasi rahasia
di antara peserta rapat, tentu saja cara yang
cerdas dengan menggunakan gadget yang tersedia.

Tetapi pada kenyataannya, yang kerap kita
jumpai, teknologi yang awalnya dirancang
untuk membantu kehidupan manusia,
malah justeru membuat kita semakin menjauh
satu dengan lainnya.
Menjauh dari orang-orang yang kita kasihi,
dan menjauh pula dari Tuhan yang sesungguhnya
dekat dengan kita.

Dengarlah apa yang dikatakan Eric Schmidt,
CEO Google, dalam pidatonya di University
of Pennsylvania, Amerika Serikat, pada 18 Mei
2009 lalu dihadapan enam ribu wisudawan.
Schmidt berujar, "Matikan komputermu.
Matikan juga ponselmu. Dan perhatikan manusia
di sekelilingmu."
Schmidt mengatakan demikian setelah
melihat banyaknya kaum muda yang hanya
terpaku pada dunia virtual di internet.
Seakan tak peduli untuk berelasi dengan orang lain.

Itulah yang dirasakan Adil sekarang.
Ia merasa jauh sekali dari istrinya.
Adil sesungguhnya tak menuntut lebih dari Anita.
Adil hanya ingin Anita menghentikan sekali saja
pada saat mereka berada di rumah.
Apalagi disaat-saat mereka sedang berdua atau liburan.
Baginya komunikasi yang baik bukan lagi
semata dengan jari-jari, walau teknologi sudah maju.
Berbicara dengan tatap muka, ekspresi wajah,
dan bahasa tubuh tentu lebih memanusiakan diri.

Kita seharusnya memang dapat berhenti sejenak
dari kegaduhan dunia virtual dan kembali
pada 'habitatnya' sebagai makhluk sosial.

*) Sonny Wibisono, penulis buku 'Message of Monday', PT Elex Media Komputindo, 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar